Kamis, 31 Oktober 2013

Cinta Tapi Beda

“Sekarang bagaimana?” tanyaku sambil menatap ke arahnya, yang sedari tadi menunduk, dia terhenyak dan mengangkat kepalanya, bibir merahnya bergetar, rambutnya yang panjang terurai ke bawah menutupi paras cantiknya, aku pun mensampirkan rambutnya ke daun telinganya lalu kembali menatapnya.
Dia menggeleng terisak.
Yah, sekarang kami sedang berada di sebuah kafe di dekat menara Eifell, tempat yang seharusnya pasangan-pasangan yang lain menghabiskan waktu romantis bersama, tapi tidak untuk kami. Kami sedang membicarakan sesuatu yang penting, sesuatu yang amat sangat menyangkut tentang awal kehidupan baru kami, sesuatu yang membuat kami tidak bisa bersatu, sesuatu yang orang lain dan mereka semua katakan, kami BERBEDA!
mencoba menyatukan perbedaan yang ada, dimulai dengan kata mungkin, ya mungkin saja begini dan mungkin saja begitu.
Aku adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di jogjakarta, aku mengambil jurusan seni dan sastra, karena aku sangat ama sangat menyukai Seni terlebih di bidang seni lukis dan seni musik.
Aku bertemu dengannya ketika ada acara baksos dimana dia adalah anak dari salah satu pemilik di panti asuhan yang kami datangi.
“nanti kita mau kemana, Vin?” tanyaku seraya mengambil kertas lusuh dari laci meja.
“katanya sih ke Panti Asuhan, Aya Maria.” jawab sahabatku, Alvin. Aku mengernyit, Aya Maria? Itu panti asuhan kristen.
“Itu khusus buat orang Kristiani, Vin?” tanyaku sekali lagi, alvin mengangguk. Aku terhenyak, aku memang termasuk golongan yang anti dengan NonMuslim, karena keluargaku adalah penganut Islam yang taat dan aku ada keturunan keraton, eyangku adalah Sultan Hamengkubuwono ke XI, dan semenjak aku kecil, aku selalu diajarkan untuk tidak terlalu dekat dengan kaum NonMuslim, ya terkecuali untuk Alvin, dia kan sahabatku, Alvin adalah pemuda keturunan Tionghoa dan dia ini sangat pintar berbahasa mandarin.
“Kenapa lo? Gak jadi ikut?” tanya Alvin membuyarkan lamunanku, aku menggeleng.
“Gak apa-apa, vin. Ya ikut dong, lagipula ini kan buat amal membantu sesama.” ujarku menyembunyikan keresahanku.
“Oh, tolong, Kka. Angkat itu kardus mienya, harus cepat-cepat nih besok kan pagi-pagi kita udah harus kesana.” perintah Alvin, aku segera mengangkat beberapa kardus.
Hari yang kami tunggu-tunggu tiba, kami anak-anak seni, sangat suka membantu sesama dan acara seperti inilah acara yang kami tunggu-tunggu. Pagi-pagi buta aku sudah bersiap-siap dengan memakai hem biru tua kotak-kota tapi bukan jokowi ya, dan celana jeans sampai bawah, dan sedikit tambahan aksesoris topi berwarna putih. Tak lupa aku menyemprotkan sedikit parfum.
“Wih, kka. Lo mau baksos apa mau ngedate?” ledek Ray yang melihatku baru datang.
“Sialan, Lo.” kataku seraya tertawa kecil.
“Eh, Cakka kan udah datang. Ayo cepet kita berangkat.” ujar Rio menenteng beberapa plastik besar yang berisi baju-baju layak pakai.
“Ayooo!” seru kami semua bersemangat.
Kami berlima pun sampai di sebuah bangunan klasik bercat putih yang sangat bernuansa rohani, kami hanya berdecak kagum.
“Kka, lo yang masuk duluan gih, minta izini cepat.” seru Ray, dan diangguki oleh Rio, Alvin, Deva, Ozy, dan Debo. Aku hanya berdecak, aku mengetuk pintu panti asuhan itu, dan pintu berdecit dibuka, aku melihat sesosok wanita cantik dan wajahnya memancarkan sinar, sangat cantik dengan jilbab putih di wajahnya.
“Eh, ada apa ya?” kata perempuan manis itu, aku terpana melihat kecantikannya, apalagi ia memakai jilbab, ternyata disini ada juga seorang muslimah. Khayalanku dibuyarkan oleh dorongan teman-teman.
“O ya, Kka. Cepetan lah.” seru Debo protes, aku hanya cengar cengir, perempuan cantik itu hanya tersenyum simpul.
“Emh, anu itu.. Eng aku eh maksudnya kami mau.. Mau ngadain baksos disini, apa.. Emh apa diizinin.” kataku terbata-bata entah kenapa kecantikannya melumpuhkan seluruh sarafku, teman-temanku di belakang hanya tertawa, dia juga tertawa kecil sambil menunduk.
“Boleh boleh, ayo silahkan masuk, oh iya kenalin aku Oik, kamu?” katanya menyodorkan tangan putih dan mulusnya, aku ragu membalas uluran tangannya tapi pelan tapi pasti aku menyambutnya.
“Cakka.”
Dia mempersilahkan kami semua untuk masuk ke dalam ruangan utama, kami melihat beberapa wanita yang memakai jilbab dan jubah putih serupa dengannya, oh sekarang aku mengerti ternyata dia bukan muslimah yang aku kira.
“Nah, tunggu sebentar ya, ibu sedang ibadah bersama, tunggu mereka selesai. Aku ke dapur dulu ya.” katanya tersenyum lalu pergi ke dapur, kami menunggu di sebuah sofa panjang yang klasik, terlihat dari sini beberapa wanita sedang menyanyikan lagu-lagu rohani dengan iringan piano, lalu Oik datang dengan membawa nampan. Dan duduk di hadapanku, di sebelah Alvin.
“diminum dulu, karena ini hari minggu, jadi kami harus menjalani kegiatan ibadah dulu, anak-anak panti asuhan disini juga sebagian besar sedang ibadah.” jelasnya sambil tersenyum manis, aku menyesap teh buatannya, manis, mungkin karena sambil menatap wajah manisnya.
“Sebagian besar? Apa tidak semua anak disini yang beragama Kristiani?” tanyaku hati-hati, takut menyinggung. Dia menggeleng seraya tersenyum.
“Ada dua anak disini yang bernama Acha dan Bastian yang beragama Islam, mereka sudah lama disini. Dan mereka sudah terbiasa.” katanya kemudian, kami mengangguk-angguk mengerti.
Tak lama kemudian, kegiatan ibadah pun selesai, ibu kepala panti menghampiri kami dan duduk di sebelah Oik. Kami menyalami Ibu cantik itu, aku yakin dia ibunya Oik.
“Maksud kedatangan kami disini ingin melaksanakan baksos bu, apa diizinkan?” tanya Rio meminta izin, Ibu itu mengangguk senang.
“Tentu saja, kami sangat senang jika ada anak muda yang peduli dengan sesama, semoga tuhan memberkati kalian.” ujarnya mendoakan kami, kami semua mengamini.
“Oik, antarkan mereka berkeliling.” perintah Ibu itu lembut, Oik mengangguk dan beranjak dari tempatnya.
Kami amat lelah mengelilingi kamar demi kamar di panti asuhan ini, cukup luas. Dan tadi aku bertemu acha dan bastian, dia terurus, sama sekali tidak ada pendiskriminasian disini, mereka semua juga sangat ramah, itu yang aku salutkan dari kaum NonIslam, menjunjung tinggi kebersamaan.
“Engg, Ik. Aku boleh tanya ga?” tanyaku yang sedang ada kesempatan berdua dengan Oik.
“Iyah, kka?” tanya Oik.
“Memang semua harus pake jilbab ya di agama kamu?” tanyaku yang sedari tadi penasaran.
“Kka, sebenarnya agamaku dengan agamamu hampir sama, sama banget, kita juga diajarin buat menutup diri, tidak bergaul dengan bebas, dan sebenarnya kami juga mengenal nabi-nabi yang ada di agamamu, bahkan kitab yang kami selalu bawa, itu kalau yang asli hampir sama dengan kitabmu. Sudah keharusan sebagai Kristiani yang taat untukku menutup diri, ya dengan berjilbab ini, aku ingin menjadi seorang biarawati yang taat dan selalu diberkati oleh Tuhan.” kata Oik tersenyum, Aku mengangguk-angguk.
“Kka, Tuhan semua agama itu satu, yang diatas, hanya Cara kita menyebutNya dan cara kita menyembahNya lah yang berbeda.” ujar Oik sekali lagi sambil tersenyum manis dari bibir merahnya.
Perkataan Oik sedikit mengurangi antipati ku kepada agama-agama diluar islam, dan sudah tidak sepantasnya aku membicarakan ini, karena amat sangat suci dan sakral.
Semenjak baksos itu, aku sering berkunjung ke panti asuhan Aya Maria, sekedar untuk menjenguk Acha dan Bastian sebagai alasan sebenernya aku ingin bertemu Oik, ya! Sejak saat itu kami dekat, aku tertarik dengannya, dengan semua yang ada pada dirinya.
“Hey Acha, Tian! Kakak Cakka datang.” kataku tertawa sambil membawakan dua buah Coklat untuk mereka.
“Wah, makasih yah kak Cakka.” kata mereka berbarengan dan berlari, acha yang memakai jilbab dari balik wajah imutnya mengaku diajari memakai jilbab oleh Oik, aku sangat takjub dengan perempuan ini.
“Kka, aku boleh main ke rumah kamu?” katanya suatu ketika yang berhasil membuatku kaget dan hampir mati.
“A.. Apa? Kamu mau main ke rumahku?” kataku kaget, dia mengangguk.
“Kenapa?” tanya Oik.
Aku sangat tahu keluargaku sangat teramat membenci orang-orang diluar islam, aku sudah belajar dari pengalaman Alvin sewaktu main ke rumahku dia ditolak abis-abisan.
“Engg.. Jangan.” kataku mencegahnya.
“Kenapa?”
“Keluargaku sangat anti sama NonMuslim seperti kamu, aku gamau tanggung resiko.” kataku jujur, dia tersenyum dan menggenggam tanganku.
“Tenang aja, aku bisa urus semuanya.” katanya yang saat itu sangat yakin, entah kenapa aku mempercayainya. Aku menumpukan jemariku di atas jemarinya lalu tersenyum.
Aku memarkirkan motorku di garasi rumahku, dengan cemas aku menggandeng Oik, untuk pertama kalinya aku membawa seorang wanita ke rumahku dan itu seorang NonMuslim, sungguh nekat kata teman-temanku bilang. Aku menatap Oik cemas, meyakinkan apakah siap dengan semua resikonya, dia menatapku tenang dengan senyum di bibirnya.
“Ayo masuk cepet, Kka.” ujar Oik seperti tak sabar, aku menghela nafas dan mulai melangkahkan kakiku.
“Assalamualaikum.” kataku mengetuk pintu.
“Selamat Siang.” kata Oik kemudian. Pintu pun perlahan terbuka, dan dia adalah ibundaku, bunda adalah orang yang tenang, ramah, bijak, juga seorang yang tak mengganggap perbedaan itu berarti.
“Waalaikumsalam, Cakka. Loh dengan siapa?” ujarnya ramah melirik ke arah Oik.
“Saya Oik, tante. Temannya Cakka.” jawab Oik mencium punggung tangan bundaku, lalu diikuti aku.
“Oh Oik, saya bundanya Cakka. Ayo masuk masuk.” katanya melebarkan jalan masuk untuk kami berdua lalu berjalan beriringan dengan kami. Rumahku cukup besar dan bernuansa Klasik ala jawa dan ornamen-ornamen islam, kata teman-temanku kalau masuk ke dalam rumahku berasa masuk ke dalam Langgar atau masjid kuno.
“Wah baru pertama kali loh Cakka ngajak teman wanitanya main kesini.” ujar bunda kepada Oik.
“Iya tante itu saya yang minta, soalnya saya mau belajar.” ujar Oik sambil tersenyum.
“Oh ya? Belajar apa?” tanya bunda penasaran.
“Belajar menghargai perbedaan dan belajar mempelajari perbedaan itu sendiri tante.” jawab Oik masih tenang, apa maksudnya dia?
“Loh maksudnya apa? Bunda gak ngerti nih?” kata bunda yang sejalan denganku.
“Saya Kristiani tante, dan Cakka udah cerita banyak sama saya.” jawaban Oik berasa petir di siang bolong, dengan jujur dia bilang semua itu? Mau cepat-cepat di depak dia dari rumahku?
Aku melirik wajah bunda yang terkejut atas jawaban Oik lalu kemudian menghela nafas dan tersenyum
“Oh begitu, ya bunda paham. Ya sudah bunda masuk dulu ya.” kata Bunda meninggalkan kami berdua.
“apa aku bilang, Kka. Percaya saja sama aku.” kata Oik optimis, iya sih bunda biasa-biasa aja aku kan tahu karakteristik bunda, tapi? Kalau ayah? Eyang? Dan para saudaraku gimana? Malah sekarang lagi pada kumpul semua.
“Iya sih, tapi gimana dengan ayahku?” tanyaku menatapnya.
“Sudahlah, kita serahkan saja sama takdir.” ujar Oik menepuk bahuku.
Kami ke halaman belakang rumahku, disana terdapat taman dan ayunan pohon, Oik duduk disitu sementara aku di belakangnya mengayunkan.
“Ayahmu kemana, Kka?” tanya Oik.
“ayah lagi sama eyang di ruang Kerja.” jawabku sambil mendorong Oik pelan, jilbab putihnya terkibar-kibar.
“Oh, kamu udah Shalat?” tanya Oik, perkataannya mengagetkanku, dia tahu waktu shalat Ashar?
“Eh.. Be.. Belum hehehe.” jawabku tersenyum kecil.
“Shalat dulu, kami saja selalu menghadapnya setiap saat. Masa kamu gak sih?” kata Oik, aku pun terhenyak. Aku betul-betul kagum sama dia. Aku beranjak dari tempatku dan pamit meninggalkan dia sebentar.
Oik masih bermain-main di ayunan, lalu tanpa sengaja Shilla datang, Shilla adalah Kakakku yang kedua, dia sekarang sedang menyapu halaman belakang. Melihat Oik, dia menghampiri gadis itu.
“Kamu temannya Cakka yang tadi ya?” tanya Shilla, Oik mengangguk.
“Kamu Nonmuslim?” tanya Shilla lagi, sekali lagi Oik mengangguk. Shilla menatap sinis Oik.
“kamu jangan terlalu berharap banyak dengan Cakka, karena harapan kamu hanya sekedar harapan. Cakka adalah keluarga terhormat, keturunan berdarah biru dan kami sangat memegang teguh prinsip agama. Aku bukannya tak mensetujui pertemanan kalian yang berbeda itu, tapi aku hanya sekedar memperingatkan sebelum ayah yang memperingatkan kamu. Mengerti?” kata-kata Shilla seperti menghujam jantung Oik, dengan lemah ia mengangguk.
Aku kembali Oik aku lihat masih setia bermain tapi kali ini tidak seceria tadi, wajahnya murung.
“Hey, Kamu kenapa?” tanyaku, dia menggeleng. Aku berjongkok dihadapannya yang duduk di ayunan dan menatap mata hitamnya.
“Apa perbedaan di dunia ini begitu berarti kka? Bukankah kita hidup di zaman yang memandang semua sama, bukankah agamamu juga agamaku memandang semua manusia sama, tidak mengenal kasta ataupun lainnya.” tanyanya dengan air mata yang berusaha ia bendung. Aku tersenyum sambil menggeleng.
“Tidak Oik, Perbedaan itu relatif, sebagian orang menganggapnya sepele, sebagian lagi menganggap itu penting.” kataku berdiri di hadapannya.
“Aku sayang kamu, Kka. Tapi aku gak mau perbedaan yang sudah kita rasakan dari awal menjadi jurang pemisah.” kata Oik tertunduk, aku kaget mendengar ucapannya, ternyata dia mempunyai perasaan yang sama denganku, satu lagi membuktikan bahwa Perbedaan bisa membuat semuanya sama.
“Kita dipertemukan atas kehendak tuhan, dan aku mau kita dipisahkan atas kehendaknya. Insya Allah, Ik.” kataku menggenggam tangannya.
“Semoga, Kka.” jawabnya lemah dan terjatuh di pelukanku, aku memeluknya erat, seolah aku telah menemukan jodohku yang selama ini aku cari.
“Cakka! Apa yang kalian lakukan?”
Aku segera melepaskan pelukanku dan menatap sumber suara itu, Ayah?
Ayah berjalan menghampiriku dan dengan paksaan dia memisahkan kami.
“Kamu itu sudah kecewakan ayah!” bentaknya aku terdiam.
“Tidak seharusnya kamu berhubungan dengan dia sampai pelukan segala! Bukan muhrim dan ayah gak bakalan setuju dengan hubungan kalian, kalian beda!” bentak ayah lebih keras.
“Beda apa yah? Beda agama? Apa salahnya? Nabi Muhammad saja boleh berteman dengan seorang pendeta dan mereka saling membantu, kenapa kita sebagai umatnya tidak?” kataku mencoba bertahan menatap wajah ayahku yang sudah sangat emosi, sementara Oik menangis sambil dipegang oleh kak Shilla.
“Jangan, Kka jangan. Jangan lawan ayahmu.” aku mendengar suaranya yang terisak dan makin memberi keberanian kepadaku.
“jawab yah jawab.” kataku menantang.
“Kamu sudah khianati agama kita Cakka! Dan pernikahan beda agama itu dilarang oleh agama kita.” kata ayah tak kalah keras.
“Kalau itu dilarang aku yang akan mematahkan larangan itu.” kataku tertawa mengejek, kali ini aku benar-benar dirasuki oleh setan, entah setan apapun yang terpenting aku gak mau kehilangan Oik.
“Cakka cukup!”
‘Plak’
Ayah melayangkan tamparan kepadaku dan bibirku berdarah karenanya.
Aku berdiri.
“Ayah bahkan sampai berani nampar aku? Tampar aku sekali lagi yah tampar, ayah sudah melalaikan titipin dariNya, tidak menjagaku!” kataku tegap berdiri dihadapan ayahku.
“Pergi kamu dari sini! Saya tidak mau melihat wajahmu lagi, kamu sudah membangkang dengan orang tua dan mengkhianati agamamu, bawa dia sekalian, dia hanya mengotori rumah ini dan merusak kamu!” ujar ayah keras tanpa melihatku, aku menatap ayah sesaat lalu beralih ke bunda yang menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Lalu aku berlalu meninggalkan mereka, menuntun Oik keluar dari rumahku.
izinkan kami bertahan di dunia penuh perbedaan ini
Cinta tak mementingkan hal itu tetapi saling melengkapi dan mengerti adalah alasan kenapa Tuhan memberikan anugerah Cinta di setiap hati umatNya.
Aku memutuskan untuk pergi dari pulau jawa dan menetap di Lombok dengan sisa uang tabungan yang ku punya bersama Oik, istriku aku sudah menikahinya sesaat sesusah semuanya terjadi, aku tidak ingin ada hal-hal yang tak diinginkan dan dapat menambah dosaku. Entah kenapa aku bisa senekat ini hanya karena perbedaan? Berusaha keras untuk menyatukannya, dan kami masih pada prinsip yang kami masing-masing, dia tetap taat menjalankan kewajibannya sebagai seorang Kristiani, aku pun demikian masih seorang Muslim.
“Kita terus bagaimana?” tanyanya yang sedang melipat pakaian. Aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang dan meniup puncak kepalanya.
“Jalani saja.” jawabku enteng.
“Tapi aku gak bisa terus-terusan begini, Kka.” katanya cemas dan berbalik ke arahku.
“Aku gak tega sakitin keluargaku terlebih keluargamu, mereka pasti panik cari kita.” katanya lagi, aku memegang bahunya.
“Jika Tuhan mengkehendaki, semua bakal baik-baik saja.” kataku tersenyum. Dia mengangguk.
“Antarkan aku ke Gereja, ada ibadah minggu ini.” katanya kemudian, aku beranjak dari tempatku dan mengambil motorku.
“Cepat kalian cari Cakka! Dan bawa dia kembali kesini dengan paksa.”
“Baik tuan.”
Aku dan Oik tengah berada di Gereja Santa Maria.
Oik masuk aku menunggu di luar.
Lama menunggu Oik aku mencoba untuk menyusul tetapi ada sekelompok orang yang berusaha menangkapku.
“Lepasin! Lepasin! Siapa kalian.” aku mencoba melepaskan diri dengan tenaga yang aku punya. Tak lama kemudian Oik datang, dia tampak kaget dan terkejut, dipegang Al kitabnya dan dia menaruhnya di dada seperti berdoa.
“Semoga Tuhan Memberkati.” dia lalu berlari ke arahku dan berupaya melepaskanku tapi naas orang itu membawa pisau dan pisau itu tepat mengenai perut Oik.
“Cakka…” katanya lemah dan tumbang.
Aku segera menghampiri Oik dan menatap tajam kedua orang itu.
“Kalian! Lihat aja.” kataku sengit dan membopong Oik, membawanya ke rumah sakit.
“Bodoh! Kenapa bisa sampai gagal?”
“Disaat kami menangkap Cakka, seorang cewek menghalangi kami dan kami tidak sengaja menusuk perempuan itu bos.”
“Kenapa tidak dibuat mati saja sekalian.”
kedua orang itu terdiam.
Oik telah diurusi oleh dokter, dan aku kini berada di sampingnya, mengelus rambutnya lembut.
“Sayang, kenapa bisa sampai seperti ini?” kataku, lalu dia membuka matanya, senyum mengembang di bibirku.
“Kamu jangan sedih yah, Kamu percaya kuasa Tuhan kan? Dia pasti melindungi kita dan ku percaya semua akan indah pada waktunya.” katanya balas membelai pipiku. Aku tersenyum dan mengecup keningnya lembut.
“Aku sayang Kamu.” bisikku pelan, dia tersenyum lemah.
“Aku juga.”
disaat aku sedang mencari makan di luar rumah Sakit Wakatobi aku bertemu dengan Rio, teman satu universitasku.
“Rio? Apa kabar?” kataku tersenyum lebar.
“Weits bro, baik aja nih. Lo sendiri? Ngapain disini?” tanyanya. Aku menghela nafas dalam dan menceritakan semuanya pada sahabatku ini.
“gitu yo, aku bingung harus gimana lagi dan kemana. Sementara uang tabunganku sudah mulai habis.” aku bercerita di sebuah warung yang tak jauh dari rumah sakit, Rio sejenak berfikir.
“emh, lo mau gak ke paris?” tanya Rio, aku membulatkan mataku.
“Paris? Gimana caranya? Oik bisa diajak gak?” tanyaku bersemangat.
“gue ada referensi Beasiswa kesana, dari kampus kita coba aja lo kesana, ke jakarta. Gue yakin lo dapat, lo juga bisa ajak Oik semuanya gratis.” jelas Rio, aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kalau aku ke paris aku mungkin bebas dari kejaran ayah dan anak buahnya dan setelah sukses aku bisa buktiin semuanya bahwa perbedaan bukanlah suatu yang rumit.
Aku bersiap menjalani test di kampusku, ya! Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta untuk sementara lalu jika aku berhasil mendapatkan A Scholarship itu aku akan segera pergi ke Paris.
“Doakan aku ya, Ik.” kataku memeluk Oik, Oik mengangguk.
“Ya akan selalu doakan, semoga Tuhan merestui niat baik kita.” katanya kemudian sambil tersenyum.
Aku masuk ke ruang tes, semua sudah ku persiapkan dengan matang, aku ingin meraih semua itu dan membuktikan bahwa aku dapat mandiri.
2 jam berjuang aku akhirnya keluar, aku sangat yakin akan hasilnya.
Lalu kami memesan kamar hotel untuk dua hari karena kami tak akan berlama-lama disini.
“apa? Cakka sekarang berada di jakarta?”
“Iya tuan. ”
“Cepat kalian cari dia lalu bawa ke hadapan ku. ”
Hari yang sangat aku nanti-nanti pun tiba pengumuman siapakah yang berhasil mendapatkan suatu kebanggaan itu, harusnya aku hadir disini bersama ayah dan bunda serta eyangku dan keluargaku, tapi kali ini aku hanya ditemani oleh istri tercintaku.
“Dan, yang berhasil meraih’ Trip To Paris From Indonesia’ dalam bidang kesastraan adalah…..
Cakka Nuraga.”
Aku tidak percaya namaku disebut, aku segera melakukan sujud syukur dan memeluk Oik, sangat senang dan banga hatiku bisa meraih apa yang aku impikan atas kemampuanku sendiri.
Gemuruh tepuk tangan menyambutku di atas panggung.
“ya Cakka Nuraga, silahkan menerima paket ini, anda akan bersekolah selama 3 tahun disana mengambil gelar Majoster.” kata mc itu memberikan sebuah tropi, senyum mengembang di bibirku.
Aku dan Oik akan bersiap-siap berangkat ke paris, kami telah sampai di bandara Soekarno-Hatta. Aku menyeret koper besarku dan di sampingku terdapat Oik dengan Jilbab putihnya yang setia melekat di wajahnya.
“Aku seneng banget, kita bisa ke paris, sekaligus bulan madu.” kataku meliriknya nakal.
“Ih maunya kamu itu sih.” dia mencubit lenganku, kami memang sudah bertekad untuk tidak melakukan ‘itu’ sebelum ayah dan keluargaku menyetujui kami, karena Oik tahu di dalam agamaku terdapat hukum berzina, dan orang yang menikah beda agama tanpa restu adalah perbuatan zina.
Tiba-tiba ada yang menarik Oik dari belakang.
“Hmmmff cakka tolong cakka!” dia berusaha teriak, aku membalikan badan, seseorang bertubuh tegap dan memakai jaket kulit hitam segera menodongkan pistol pada Oik.
“Sekali lo maju, dia bakal melayang nyawanya kecuali lo ikut kami.” ancamnya, aku mundur beberapa langkah.
“Oke oke gue bakal ikut kalian, tapi lepasin dia dulu.” kataku mencoba menarik nafas dalam-dalam. Orang itu melepaskan Oik, aku segera mencari kesempatan untuk menjatuhkan pistol itu ke lantai.
‘prak’
dengan sekali tendangan aku menjatuhkan pistol itu, dan segera mengambilnya lalu segera menarik Oik, tapi sayang, jilbab Oik berhasil ia dapatkan, lalu mereka menarik jilbab Oik.
“Oik lepaskan!” kataku menarik tangannya erat. Dia menggeleng.
“Aku gak bakal lepasin ini, Kka. Aku ingin memakainya selalu.” katanya menggeleng dengan air mata yang mengalir deras.
“Oik, tolong lepaskan!” teriakku lebih kencang, dia terdiam. Lalu membuka perlahan jilbabnya dan aku segera berlari menariknya, menggenggamnya lebih erat.
Terkadang kita harus berkorban sedikit dan melepaskan sedikit prinsip kita agar bisa menyatukan pendapat, tetapi tidak melepaskan seluruhnya.
“Ayo cepat kita lari, pesawat sudah mau boarding.” kataku sambil berlari, Oik terjatuh dia menggeleng dalam isaknya.
“Aku sudah tidak kuat lagi, Kka.” katanya teringsut di lantai, aku lihat orang-orang tadi sedang mengejar kami.
Dengan sigap aku menaikkan Oik ke atas punggungku dan menggendongnya dan aku berlari.
Setelah melewati post pengamanan sebelum masuk pesawat aku turunkan Oik dan mencium keningnya memejamkan mata, teringat semua pengorbananku, perjuanganku melawan perbedaan itu tetapi kenapa semuanya malah bertambah rumit?
“Akhirnya kita selamat juga.”
Kini aku sampai di negara Perancis tepatnya kota paris aku akan berkuliah di dekat menara Eifell, menara legendaris di tengah kota paris, berharap semuanya bakal berubah disini, ya! Aku akan merubah nasibku menentang semua perbedaan, semua yang menghalangi jalanku dengannya.
“Akhirnya kita sampai, Oik. Yeeeh.” kataku memeluknya, lalu kami memutuskan untuk makan malam disebuah kafe kecil di sepanjang jalan kota Paris.
Aku meraih tangannya dan menggenggam tangannya, dia hanya tersenyum, sudah jauh sekali pengorbananku untuknya.
“Aku bahagia banget bisa sampai seperti ini sama kamu, bersama-sama melawan segala Perbedaan, terlebih perbedaan agama di antara kita. Aku ingin semua tahu bahwa, bahwa perbedaan bukanlah pembatas untuk segalanya.” kataku menatapnya, dia tersenyum dari bibir merahnya.
“Ya, aku juga senang bgt, Kka. Tapi aku masih belum tenang sebelum kamu pulang dan kita diizinin sama ayahmu”.
“Terus bagaimana sekarang?” tanyaku, dia tertunduk dengan rambut terurai menutupi rambutnya, aku mensampirkannya. Lalu dia menggeleng pelan.
“Aku tidak tahu.” jawabnya tiba-tiba muram, aku berusaha tersenyum menenangkan.
“sudahlah, kita sudah sejauh ini aku yakin sebentar lagi adalah akhir dari semuanya.” ujarku, dia tersenyum. Lalu kami berjalan-jalan di sepanjang kota Paris mencari jilbab khusus kaum kristiani, karena dia bilang dia tidak betah jika harus mengumbar rambutnya.
“nah ini saja kamu amat Cantik sayang.” kataku memberikan sehelai kain putih agar dipakai olehnya dia mengangguk.
“Cantik sekali, Oik.” pujiku sambil mencium kedua pipinya.
“Terima kasih Cakka, dan puji tuhan telah memberiku anugerah ini.” katanya, aku menggenggam tangannya, kami berdua menuju ke dekat menara Eifell.
“Sudahlah mas, setujui saja mereka, aku sangat mengkhawatirkannya.” mohon seorang berjilbab berwarna biru laut itu.
“Tidak bisa! Dia sudah terlalu jauh menentang kita dan syariat agama kita, dia harus diberi pelajaran.” tegas Ayahku.
“Tapi kenapa mas tetep menyuruh anak buah mas untuk mengejarnya dan mencarinya, kalau memang biarkan jangan dicari dan diganggu lagi, aku sudah ikhlas.” balas bundaku.
“aku cuma mau dia kembali tanpa perempuan itu karena dia satu-satunya penerus perusahaan kita di Indonesia karena El sudah mengurus perusahaan kita di Los Angeles”.
“Mas egois! Pentingkan saja kepentingan sendiri, gausa urusi keluarga!” teriak Bundaku membanting pintu, Ayahku terdiam mungkin dia merenung sejenak, mencoba membuka hati untuk Oik.
Oik menaruh kepalanya di dadaku, aku memeluk erat gadis yang sangat aku cintai ini.
“Kamu tau gak? Sebelumnya aku tidak pernah berfikir akan menikah dengan orang yang Beda.” kataku mengelus rambutnya lembut.
“Ohya? Sekarang? Kefikiran kan?” katanya tertawa.
“Iya, dan itu atas Kehendak Tuhan kita masing-masing dan aku yakin, dia mempunyai rencana yang lebih indah dari ini.” kataku lagi, dia tersenyum.
“Amin.”
‘siapkan keberangkatanku ke paris.’
‘baik tuan.’
Keesokan harinya aku dan Oik memutuskan untuk berjalan-jalan karena waktu kuliahku masih lama, harus mengurusi beberapa dokumen lagi.
Kami memutuskan untuk mencari pekerjaan untuk Oik.
“aku Capek, Ik. Duduk dulu yah.” kataku duduk dibangku taman dengan ditemani burung-burung dara yang amat cantik. Oik duduk di sampingku.
“Kka, di agamamu ada yang namanya meninggal dengan Khusnul Khotimah kan?” tanyanya, aku terhenyak mendengar pertanyaan Oik yang tiba-tiba menyebut kematian.
“Iya, kenapa memangnya Sayang?” kataku mengelus lembut rambutnya.
“Gakpapa, aku hanya ingin meninggal seperti itu. Karena di agamaku juga ada.” katanya, sekarang aku yakin bahwa kita tidak sepenuhnya berbeda.
“Ada cerita di agamaku bahwa ada Biarawati bernama Suster Sopia, dia amat sangat taat dalam menjalankan ibadahnya, kasihnya terhadap Tuhan kami sangat besar, dia tidak menikah dia perempuan yang sangat suci, dia mengabdikan dirinya untuk mengurus sebuah panti jompo dan disaat ia meninggal dia meninggal ketika sedang menjahit dan wajahnya sangatlah bersinar, matanya terpejam seperti orang tidur, beberapa bulan orang-orang tidak tahu kalau suster Sopia sudah meninggal karena seperti orang tidur.
Dan ketika dia terjatuh dari kursi goyangnya, orang-orang baru tahu kalau dia sudah meninggal tetapi wajahnya masih persis seperti orang hidup, seperti Putri Salju yang tertidur menunggu pangeran menciumnya. Dia tersenyum, wajahnya halus, lembut seperti masih ada darah mengalir di tubuhnya, aku ingin seperti itu, Kka. Aku ingin menjadi kekasihnya, tapi aku juga ingin menjadi bidadarimu di surga nanti, aku takut kita terpisah Kka! Aku takut.” dia memelukku erat seolah itu pelukkan terakhirnya.
“Kamu adalah Bidadari Surgaku, Ik. Dan kamu bisa menjadi KekasihNya, aku percaya.” kataku membalas pelukannya sambil tersenyum.
“Cakka!”
Ada yang memanggilku, dan aku melihat di sebrang jalan sudah terdapat ayah dan beserta keluargaku melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Ayah sudah setujui kamu, ayah sadar ayah gak bisa melarang kalian terus, ayah bakalan setujuin pernikahan kamu! Allah maha tahu segalanya, dia tak akan pernah salah akan takdirnya.” Teriak Ayahku, aku melirik bundaku dia tersenyum lebar dan merentangkan tangannya seperti menyambutku, rona bahagia tak bisa aku sembunyikan lagi, aku menatap Oik, dia juga bahagia, aku menyentuh bahunya dan menggoncang-goncangkannya.
“Oik! Kita disetujui Ik kita disetujui Ik!” aku tersenyum lebar dia mengangguk.
“Puji Tuhan, terima kasih Allah.” katanya, aku memeluknya erat dan melepaskannya lalu berlari ke ayah dan keluargaku.
Tanpa sadar sebuah Truk pengangkut air melajut cepat di hadapanku, semuanya terang.
‘Aaaaaaaaa’
Aku merasa tubuhku terpental jauh, sakit, sakit sekali kepalaku. Dan semuanya menjadi gelap.
Aku berusaha membuka mataku dan terang, seperti cahaya lampu dan bunyi alat pendeteksi jantung terngiang di telingaku, dan di hidungku terdapat tabung oksigen.
“Cakka.”
ada yang memanggilku, Oik?
“Oik.” kataku yang masih berusaha membuka mata sepenuhnya.
“Ini Kakak, Shilla.” katanya dan benar dia kakakku, lalu aku melihat ayah, bunda, mas el, eyang dan adikku Ourel.
“Kamu sudah sadar sayang, ayah khawatir sekali sama kamu.” kata Ayahku membelai rambutku.
“Oik mana yah? Bun?” tanyaku, semuanya berpandangan dan terlihat menghela nafas berat.
“Oik gak apa-apa kan Yah? Bun? Iya kan Kak Shill? Mas el?” tanyaku berusaha bangun dan mencari jawaban di tatapan mata mereka.
“Tante Oik tadi nolongin Kak Cakka tapi jadi dia yang ketablak.” kata Ourel polos dan membuat semuanya menatapnya, lalu Ourel segera digendong oleh Shilla.
“Oik? Ketabrak? Sekarang dimana Oik? Aku mau ketemu dia! Aku mau ketemu dia yah!” kataku mencoba turun dari ranjang. Tapi dicegah oleh Ayah dan masku.
“Dia sudah meninggal, Kka.” jawab Elang pelan. Mataku membesar, dan jantungku seperti ditusuk pisau yang tajam. Gak gamungkin! Gamungkin ini terjadi!
Aku menggelengkan kepala cepat berupaya menepuk pipiku, aku rasa ini semua mimpi buruk.
“Gak mungkin! Hahaha kalian semua pasti bohongin aku kan? Iya kan?” tanyaku menjambak-jambak rambutku sendiri, semuanya terdiam. Sh*tt! Kerasukan setan apa mereka semua!.
Tiba-tiba sebuah kasur dorong lewat di hadapanku dan kulihat Oik aku segera berlari menghampirinya dan memberhentikan mereka. Aku menatap wajahnya, persis seperti orang tertidur. Kau telah berhasil Oik! Kau telah berhasil menjadi kekasihNya. Kau telah melewati semua ujian Perbedaan yang memberatkan ini. Aku mencium lembut keningnya dan berusaha menahan tangisku.
“Ternyata Tuhan memang adil sama kita ya, Ik. Tuhan lebih memilih kamu untuk bersanding denganNya. Dia tidak ingin segala Perbedaan membuatmu semakin menderita dan semua keinginan kita terkabul sudah. Aku sayang kamu, Ik.” ujarku meneteskan air mata sebelum Oik dibawa oleh suster untuk dibawa ke ruang otopsi.
“Sabar ya sayang, Maafin ayah yah. Ayah sudah salah menilai dia. Ayah merasa menyesal dia jauh lebih baik dari semua, bahkan untuk wanita yang seAgama dengan kita, ayah berjanji tidak akan memandang semua berbeda lagi, ini mungkin teguran dari Allah buat kita.” katanya mengusap rambutku, Ayah benar, Oik memang betul-betul hebat.
Terima Kasih Allah telah meminjamkan bidadari SurgaMu untukku.
Cinta datang atas kehendakNya, dan dia juga pergi atas KehendakNya pula.
Tamat.

0 komentar:

Posting Komentar